Pages


 

Sunday, January 16, 2011

Pasar Tegal Gubug Indonesia

0 comments

Melalui promosi dari mulut ke mulut, Pasar Tegalgubug pun semakin dikenal. Apalagi, lokasinya di sisi jalur utama pantura penghubung Jakarta dan Jateng, menjadikan Pasar Tegalgubug sangat mudah untuk dijangkau
Terik matahari yang membakar pesisir pantai utara (pantura) Cirebon perlahan menghilang. Sinarnya yang begitu garang, kini mulai tergantikan dengan semburat lembayung berwarna keemasan. Burung-burung di langit pun terbang beriringan kembali ke sarang.

Senja yang semakin gelap, tak membuat aktivitas warga di Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug Lor, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jabar, menjadi sepi. Warga di dua desa yang bertetangga itu justru menunjukkan sisi kehidupannya yang lain. Remaja putra dan putri berpakaian muslim rapi berbondong-bondong pergi ke masjid dan mushala yang banyak berdiri di dua desa tersebut. Nuansa relijius yang tampak dalam kehidupan warga di kampung santri itu, memang tak lepas dari pengaruh keberadaan pondok pesantren yang juga banyak berdiri sejak puluhan tahun silam.

Tak hanya itu, aktivitas warga di kedua desa tersebut tak berhenti sebatas pelaksanaan ibadah ritual semata. Nilai Islam yang mengajarkan agar setiap muslim harus menjadi kuat dalam segala hal, termasuk bidang perekonomian, benar-benar mereka laksanakan. Melalui kegiatan perdagangan, mereka berupaya menjemput rezeki dari Sang Maha Pemberi Kekayaan.

Bidang perdagangan yang mereka lakukan itu berupa penjualan bahan-bahan sandang yang dipusatkan di Pasar Tegalgubug, yang berjarak kurang lebih 500 meter dari desa mereka. Tak hanya pakaian jadi, namun barang-barang lain yang mereka jual adalah bahan dasar pakaian, kerudung, taplak meja, gorden, seprei, maupun bahan sandang lainnya. Barang-barang yang dijual di Pasar Tegalgubug itu asli buatan tangan mereka sendiri.

Setiap hari, denyut kehidupan warga di dua desa itu seolah tak pernah mati. Deru mesin jahit dan hamparan kain yang akan dibuat menjadi barang sandang siap pakai, akan mudah ditemui dalam keseharian sekitar 6.000 warga di Desa Tegalgubug dan 8.124 warga di Desa Tegalgubug Lor. Proses pembuatan barang-barang sandang tersebut dilakukan di rumah masing-masing warga. Aktivitas itu dengan sendirinya telah menjadikan kedua desa tersebut sebagai kawasan home industry.

Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug Lor terbagi menjadi lima blok, yakni blok satu sampai blok lima . Setiap blok itu masing-masing memiliki produk keunggulan. Untuk Blok Satu, produk yang diunggulkan berupa pakaian jadi, Blok Dua unggul dalam produk kelambu tempat tidur dan taplak meja. Blok Tiga unggul dalam produk kerudung maupun pakaian jadi. Blok Empat unggul dalam penjualan bahan dasar pakaian, dan blok lima unggul dalam produk seprei dan sarung bantal, taplak meja, maupun celana panjang.

Seluruh produk yang mereka buat itu selalu disesuaikan dengan tren yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat, atau yang sering dikenakan para artis sinetron terkenal yang sedang naik daun. Bahkan, mereka pun menamakan produknya sesuai dengan nama artis atau tokoh yang mengenakan model pakaian tersebut. Karenanya, jangan heran jika menemukan ada kerudung ‘Benazir’ (Bhuto), kerudung ‘Teh Ninih’, baju ‘A Rafiq’, baju ‘Talita’ (sinetron Cahaya), ataupun baju ‘Azizah’ (sinetron Azizah).

Barang-barang sandang yang telah mereka produksi itu lantas dijual di Pasar Tegalgubug. Namun, keberadaan pasar itu tidak berlangsung setiap hari, hanya Selasa dan Sabtu yang menjadi hari ‘pasaran’ di pasar tersebut. Karenanya, setiap Senin dan Jumat sore, ribuan warga di dua desa itu akan berduyun-duyun mengangkut barang dagangan yang telah mereka produksi ke pasar tersebut, baik dengan menggunakan mobil bak terbuka ataupun becak.

Aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug biasa dimulai selepas sholat Isya hingga keesokan harinya sekitar pukul 14.00 WIB. Para pembeli yang datang ke pasar tersebut tak hanya berasal dari wilayah Cirebon , melainkan juga berasal dari berbagai daerah lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi , Nusa Tenggara, hingga negeri jiran Malaysia, bahkan negeri jauh seperti Afrika Selatan, Korea Selatan, maupun Nigeria. Selain kualitas yang bagus dan ketersediaan model pakaian yang lengkap, Pasar Tegalgubug pun diburu para pembeli karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan harga barang serupa di pusat perbelanjaan ataupun di toko biasa.

Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Ir H Maslani Samad (47), menjelaskan, sejarah Pasar Tegalgubug dimulai sekitar tahun 1914. Saat itu, warga setempat menggantungkan hidupnya dengan membuat dan menjual kemben, yakni perlengkapan kebaya kaum perempuan pada masa itu. Pasalnya, kaum perempuan di Tegalgubug memang mahir dalam menjahit. Para pembeli kemben itu berasal dari luar wilayah Cirebon . Mereka berdatangan dengan menggunakan pedati pada malam hari. Karena itulah, hingga kini, aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug telah dimulai sejak malam hari sebelum ‘hari pasaran’ tiba.

Seiring berlalunya waktu, aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug pun terus berjalan. Namun, aktivitas perdagangan itu belum dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Karenanya, kaum lelaki di desa tersebut lantas merantau ke Bandung untuk menjadi tukang becak. Tahun 1960-an, di Bandung mulai menjamur industri tekstil. Seringkali, pabrik-pabrik tekstil itu membuang sisa-sisa kain yang tidak mereka gunakan.

‘’Melihat hal itu, para tukang becak yang berasal dari Tegalgubug memungut sisa-sisa kain tersebut dan membawanya pulang. Mereka yakin kain-kain itu dapat dimanfaatkan bila diolah lebih lanjut oleh istri mereka yang memang pandai menjahit,’’ ujar H Maslani.

Keyakinan para tukang becak itu memang tidak keliru. Kain-kain sisa yang telah dijahit menjadi pakaian jadi itu, sangat laku dijual di Pasar Tegalgubug. Bahkan, permintaan pun terus meningkat hingga akhirnya mereka tak lagi hanya menggunakan kain sisa untuk dijahit menjadi pakaian jadi, melainkan juga membeli kain secara utuh.

Melalui promosi dari mulut ke mulut, keberadaan Pasar Tegalgubug pun semakin dikenal. Apalagi, lokasinya yang terletak di sisi jalur utama pantura penghubung Jakarta dan Jateng, menjadikan Pasar Tegalgubug sangat mudah untuk dijangkau oleh para pembeli yang datang dari berbagai daerah. Tercatat, ada sekitar 5.000 pedagang yang kini berjualan di Pasar Tegalgubug.

‘’Barang-barang di Pasar Tegalgubug sangat laku hingga perputaran uang di pasar ini bisa mencapai kurang lebih Rp 5 miliar untuk setiap hari pasaran. Dengan demikian, jika dihitung satu bulan, maka perputaran uang di pasar ini bisa mencapai kurang lebih Rp 40 miliar,’’ tutur H Maslani, yang memiliki usaha pembuatan perlengkapan pesta pernikahan dengan nama produk Sanga Sanga Production.

Salah seorang pemilik usaha penjualan bahan dasar pakaian, Hj Sofiyatun, menuturkan, omset penjualannya untuk setiap hari pasaran rata-rata mencapai Rp 200 juta. Bahkan jika permintaan dari pembeli sedang ramai, omset penjualannya bisa mencapai Rp 500 juta untuk setiap hari pasaran.
‘’Alhamdulillah. Padahal saya memulai usaha ini dengan hanya bermodalkan awal Rp 300 ribu,’’ kata Hj Sofiyatun.

Menurut H Maslani, aktivitas perdagangan bahan sandang tersebut telah mampu mengubah tingkat perekonomian warga Desa Tegalgubug dan Desa Tegalgubug menjadi jauh lebih baik. Meski desa mereka bernama ‘gubug’ yang berarti rumah sederhana yang berdinding pagar dan beratap jerami, namun kini rumah-rumah warga di desa itu telah berubah menjadi rumah permanen berdinding dan berlantai marmer. Anak-anak mereka pun tidak sedikit yang dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat strata satu dan strata dua di berbagai perguruan tinggi. Dan sebagai rasa syukur kehadirat Sang Mahakuasa yang telah melapangkan rezeki, mayoritas warga di dua desa itu rata-rata telah menunaikan ibadah haji, bahkan hingga beberapa kali.

‘’ Namun memang, setiap usaha pasti ada pasang surutnya,’’ tutur H Maslani.
Maslani menjelaskan, penurunan aktivitas perdagangan di Pasar Tegalgubug pernah terjadi saat harga BBM naik sangat tinggi pada tahun 2001-an, yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Selain itu, faktor alam berupa gelombang laut yang tinggi juga turut berpengaruh karena pembeli di Pasar Tegalgubug banyak juga yang berasal dari luar pulau Jawa.
Read more...

PasarTerbuka™ Antarabangsa ( Indonesia ) dalam pembinaan

0 comments




PasarTerbuka™ Antarabangsa ( Indonesia )kini dalam pembinaan dan kerja-kerja sedang dijalankan dijangka siap fasa pertama pada bulan Mach 2011.


Read more...

Tuesday, January 11, 2011

Security Tips For Facebook User

0 comments
Tips to Stay Safe

Here's some advice from Sileo, who wrote the "Facebook Safety Survival Guide," about protecting online privacy on all social-networking sites:

• Never post your exact date and place of birth. It's invaluable information to identity thieves, particularly when the two are bundled together.

• Never post your address, phone number or email address. This is plum information to scammers and marketers who are looking for nuggets of your identity.

• Control who can see your personal information. Many social-networking sites have privacy features, but they change often. Know what they are, stay on top of them and restrict your page to your real friends, not friends of friends or someone you met in a bar.

• Limit information about your activities. If you must brag about a trip or a fabulous party, do it after the fact.

• Remember that what you post is public and permanent. Don't put up embarrassing photos that you wouldn't show your grandmother. Don't complain about your job or your boss. Don't say something to or about someone that you wouldn't say to his face. Don't threaten others.

• Know the four types of Facebook users: friends, outsiders, businesses and enemies.

• You should know exactly who wants to be your friend or is asking you to link into their network. Some people will befriend your friends to get to you or your company.

• Be wary of seemingly harmless quizzes. When someone invites you to take a survey, say, "10 Things Others Don't Know About You" or "My Favorite Things," it may be designed to harvest your data. The name of the street you grew up on or your favorite vacation spot could be clues to your passwords.

• Before you share any information anywhere online about yourself or your workplace, ask this question: What would the consequences be if this information fell into the hands of my boss, competitor or people who don't like me?

Jennifer Waters is a MarketWatch reporter, based in Chicago
Read more...

Thursday, January 6, 2011

Top 10 Reasons Small Businesses Fail

0 comments
JAY GOLTZ, On Wednesday January 5, 2011, 2:05 pm EST
One of the least understood aspects of entrepreneurship is why small businesses fail, and there's a simple reason for the confusion: Most of the evidence comes from the entrepreneurs themselves.

I have had a close-up view of numerous business failures -- including a few start-ups of my own. And from my observation, the reasons for failure cited by the owners are frequently off-point, which kind of makes sense when you think about it. If the owners really knew what they were doing wrong, they might have been able to fix the problem. Often, it's simply a matter of denial or of not knowing what you don't know.

In many cases, the customers -- or, I should say, ex-customers -- have a better understanding than the owners of what wasn't working. The usual suspects that the owners tend to blame are the bank, the government, or the idiot partner. Rarely does the owner's finger point at the owner. Of course, there are cases where something out of the owner's control has gone terribly wrong, but I have found those instances to be in the minority. What follows -- based on my own experiences and observations -- are my top 10 reasons small businesses fail. The list is not pretty, it is not simple, and it does not contain any of those usual suspects (although they might come in at Nos. 11, 12 and 13).

1. The math just doesn't work. There is not enough demand for the product or service at a price that will produce a profit for the company. This, for example, would include a start-up trying to compete against Best Buy and its economies of scale.

2. Owners who cannot get out of their own way. They may be stubborn, risk adverse, conflict adverse -- meaning they need to be liked by everyone (even employees and vendors who can't do their jobs). They may be perfectionist, greedy, self-righteous, paranoid, indignant, or insecure. You get the idea. Sometimes, you can even tell these owners the problem, and they will recognize that you are right -- but continue to make the same mistakes over and over.

3. Out-of-control growth. This one might be the saddest of all reasons for failure -- a successful business that is ruined by over-expansion. This would include moving into markets that are not as profitable, experiencing growing pains that damage the business, or borrowing too much money in an attempt to keep growth at a particular rate. Sometimes less is more.

4. Poor accounting. You cannot be in control of a business if you don't know what is going on. With bad numbers, or no numbers, a company is flying blind, and it happens all of the time. Why? For one thing, it is a common -- and disastrous -- misconception that an outside accounting firm hired primarily to do the taxes will keep watch over the business. In reality, that is the job of the chief financial officer, one of the many hats an entrepreneur has to wear until a real one is hired.

5. Lack of a cash cushion. If we have learned anything from this recession (I know it's "over" but my customers don't seem to have gotten the memo), it's that business is cyclical and that bad things can and will happen over time -- the loss of an important customer or critical employee, the arrival of a new competitor, the filing of a lawsuit. These things can all stress the finances of a company. If that company is already out of cash (and borrowing potential), it may not be able to recover.

6. Operational mediocrity. I have never met a business owner who described his or her operation as mediocre. But we can't all be above average. Repeat and referral business is critical for most businesses, as is some degree of marketing (depending on the business).

7. Operational inefficiencies. Paying too much for rent, labor, and materials. Now more than ever, the lean companies are at an advantage. Not having the tenacity or stomach to negotiate terms that are reflective of today's economy may leave a company uncompetitive.

8. Dysfunctional management. Lack of focus, vision, planning, standards and everything else that goes into good management. Throw fighting partners or unhappy relatives into the mix, and you have a disaster.

9. The lack of a succession plan. We're talking nepotism, power struggles, significant players being replaced by people who are in over their heads -- all reasons many family businesses do not make it to the next generation.

10. A declining market. Book stores, music stores, printing businesses and many others are dealing with changes in technology, consumer demand, and competition from huge companies with more buying power and advertising dollars.

In life, you may have forgiving friends and relatives, but entrepreneurship is rarely forgiving. Eventually, everything shows up in the soup. If people don't like the soup, employees stop working for you, and customers stop doing business with you. And that is why businesses fail.
Read more...
Please note, Some writing and writer in this blog is the result of individual thought.The writers are free to write and give an opinion on an issue raised in accordance with the title of this blog (Seng Wani) which means "The Brave".Thank You and Best Regards